Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjual Rumah demi Kesembuhan

Kompas.com - 12/02/2010, 08:10 WIB

Indira Permanasari

Sudah dua bulan ini Maruwih (30) kembali ke lingkungan lamanya yang padat di Jalan Karya, Pondok Kopi, Jakarta Timur, menghuni salah satu rumah petak milik mertuanya.

Rumah mungil di sebuah perumahan di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, yang ditempatinya selama tiga tahun, telah dikosongkan dan dijual. Semuanya demi kesempatan terakhir lepas dari tuberkulosis.

Penyakit itu menyerang paru-paru Maruwih sejak tahun 1998. Beberapa kali ia berobat ke puskesmas, sembuh, lalu kambuh lagi. Terakhir, pria lulusan sekolah menengah kejuruan itu berobat di rumah sakit swasta selama enam bulan. Biaya pengobatan Rp 2,5 juta sebulan berat bagi pegawai administrasi di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergaji sekitar Rp 2 juta per bulan itu. Kadang obat hanya ditebus separuh.

Maruwih tak kunjung sembuh. Ia lalu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur, dan dinyatakan resisten atau tidak mempan menggunakan obat lini pertama tuberkulosis. Obat lini pertama tersedia gratis di fasilitas kesehatan pemerintah. Penderita sembuh jika berobat teratur selama enam bulan. Obat pun dapat dibawa pulang. Pasien putus obat biasanya berisiko resisten.

Namun, masih ada satu kesempatan bagi Maruwih. Ia lalu menandatangani kontrak komitmen menjalani program pengobatan khusus di RSUP Persahabatan. Maruwih wajib meminum obat lini dua yang diberikan gratis di klinik. Hujan, panas, atau tanggal merah, ia mesti datang minum obat selama dua tahun. Kamis, 29 Oktober 2009, merupakan hari pertama ia minum obat.

Seluruh kehidupan Maruwih pun berubah. Novi, istri Maruwih, ikut berlapang dada. ”Kami niatnya ingin hidup mandiri dan tidak tergantung orangtua. Saya senang rumah di Pondok Cabe dan sudah banyak teman. Tapi... harus ada yang dikorbankan,” ujar Novi sambil menyajikan air kemasan di meja. Belakangan, keluarga Maruwih menyajikan air dalam kemasan lantaran tidak ingin tamu khawatir tertular kalau menggunakan gelas keluarganya.

Perjalanan Pondok Cabe- RSUP Persahabatan begitu melelahkan di tengah kemacetan Jakarta dan ongkos lebih besar lantaran berganti-ganti angkutan umum. Maruwih mesti meluangkan lima hingga enam jam untuk perjalanan dan berobat.

Irama keluarga kecil itu juga berubah. Selama satu bulan awal pengobatan, ia mengenakan masker. Ia membatasi pula interaksi dengan dua putranya serta sang istri. Penularan tuberkulosis terbilang mudah. Saat batuk, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan ludah). Orang dapat terinfeksi jika bakteri terhirup masuk saluran pernapasan, terutama yang bertubuh rentan.

Pengorbanan besar lainnya adalah ketika Maruwih terpaksa meninggalkan pekerjaan yang telah dijalaninya bertahun-tahun. Ia izin cuti satu tahun. Gajinya tetap dibayar dengan penurunan persentase. Pada akhir tahun nanti, ia hanya menerima 25 persen gaji. ”Saya tidak tahu, pekerjaan itu masih ada atau tidak dua tahun lagi. Uang penjualan rumah nantinya juga untuk jaga-jaga,” katanya kemudian berdiri bersiap-siap pergi ke masjid, 5 Februari siang. Selesai shalat, ia akan ke klinik.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau